![]() |
sumber : https://pixabay.com |
Amangkurat V atau Sri Susuhan Amangkurat V juga dikenal
sebagai Sunan Kuning adalah penguasa terakhir Kasunanan Kartasura. Posisinya
kemudian direbut kembali oleh Pakubuwana II berkat bantuan VOC. Kemudian
Pakubuwana II mendirikan Kasunanan Surakarta.
Amangkurat V memimpin para pemberontak Tionghoa-Jawa
melawan VOC dalam Geger Pacinan. Julukan Sunan Kuning berasal dari kata “cun
ling” yang berarti bangsawan tertinggi. Karena orang Tionghoa susah mengejanya,
Sunan Kuning disebut Soen An Ing.
Geger Pacinan
Amangkurat V bersama Mangkunegara I(Pangeran Sambernyawa)
menjadi tokoh penting pemberontakan Geger Pacinan. Dia bersama Kapitan
Sepanjang(Khe Panjang) dan Mangkunegara I memberikan perlawanan sengit kepada
VOC di wilayah Mataram. Pemberontakan tersebut dikenal sebagai pemberontakan
tersebsar perlawanan terhadap VOC di Nusantara.
Para pemberontak Tionghoa-Jawa menobatkan Raden Mas
Garendi sebagai Sunan Kartasura dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing
Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742, di Kabupaten Pati.
Saat itu Mas Garendi adalah cucu dari Amangkurat III yang
dibuang VOC dan usianya masih 16 tahun. Ada sumber lain yang menyebut umurnya
masih 12 tahun. Dia dianggap sebagai “Rajanya orang Jawa dan Tionghoa”.
Pengangkatan Sunan
Kuning dijadikan simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikianati oleh
Pakubuwana II karena bersekutu dengan VOC. Sebelumnya Pakubuwana II mendukung
para pemberontak. Lalu pasukan Tionghoa kalah dan bagian timur kerajaan
Pakubuwana II jatuh ke tangan Cakraningrat VI karena persekutuannya dengan VOC.
Balatentara milik Sunan Kuning behasil memasuki Kartasura
pada Juni tahun 1742 setelah berjuang di Salatiga hingga Boyolali. Kapitan
Sepanjang bertugas mengawal garis belakang, kini bertindak sebagai komandan
tentara pendudukan.
Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura ke arah timur
dengan evakuasi oleh Van Hohendorff. Ia menyebrangi Bengawan Solo lalu ke
Magetan. Peristiwa tersebut oleh orang Jawa ditandai dengan
Candrosengkolo(penanda waktu) yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jaga”(Raja
yang kehilangan keratonnya).
Takhta Kartasuna diambil alih oleh Sunan Kuning pada 1
Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan seperti Mangunoneng sebagai patih
dan Raden Suryokusumo sebagai panglima perang.
Setelah itu dia berencana menggempur pasukan VOC di
Semarang. Dengan modal 1200 prajurit Tionghoa-Jawa pimpinan Raden Mas
Said(Mangkunegara I) serta Singseh atau Tan Sin Ko di arahkan ke Welahan.
Di Welahan pasukannya bertempur melawan VOC yang dipimpin
oleh kapten Gerrit Mom. Berkat serangan VOC dari segala penjuru, pasukan
Tionghoa-Jawa dipukul mundur. Orang penting seperti Tan We Kie terbunuh di
Pulau Mandalika. Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi di sana.
November 1742 keadaan diperparah dengan dengan serangan
ke Kartasura dari tiga penjuru. Dari Bengawan Solo ada Cakraningrat IV, dari
Ngawi ada pasukan Pakubuwana II serta VOC menyerang dari Ungaran dan Salatiga.
Akhirnya Sunan Kuning melarikan diri dari Kartasura dan
pergi ke arah selatan bersama pasukannya. Kartasura akhirnya jatuh dan
perlawanannya pun masih berlanjut di berbagai daerah di wilayah Jawa.
Akhirnya pada September 1743 menjadi akhir dari Sunan
Kuning. Dia tedesak di Surabaya selatan dan menyerahkan diri ke loji VOC
Surabaya, yang saat itu dipimpin Reiner De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan
dia bersama pengikutnya dibawa ke Semarang lalu dipindahkan ke Batavia, sampai
berakhir pada pengasingan di Sri Langka.
Pranala Sumber :
Comments
Post a Comment