Hamangkurat V

https://pixabay.com/photos/sunrise-morning-sunlight-indonesia-1950873/
sumber : https://pixabay.com

Amangkurat V atau Sri Susuhan Amangkurat V juga dikenal sebagai Sunan Kuning adalah penguasa terakhir Kasunanan Kartasura. Posisinya kemudian direbut kembali oleh Pakubuwana II berkat bantuan VOC. Kemudian Pakubuwana II mendirikan Kasunanan Surakarta.

Amangkurat V memimpin para pemberontak Tionghoa-Jawa melawan VOC dalam Geger Pacinan. Julukan Sunan Kuning berasal dari kata “cun ling” yang berarti bangsawan tertinggi. Karena orang Tionghoa susah mengejanya, Sunan Kuning disebut Soen An Ing.

Geger Pacinan

Amangkurat V bersama Mangkunegara I(Pangeran Sambernyawa) menjadi tokoh penting pemberontakan Geger Pacinan. Dia bersama Kapitan Sepanjang(Khe Panjang) dan Mangkunegara I memberikan perlawanan sengit kepada VOC di wilayah Mataram. Pemberontakan tersebut dikenal sebagai pemberontakan tersebsar perlawanan terhadap VOC di Nusantara.

Para pemberontak Tionghoa-Jawa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742, di Kabupaten Pati.

Saat itu Mas Garendi adalah cucu dari Amangkurat III yang dibuang VOC dan usianya masih 16 tahun. Ada sumber lain yang menyebut umurnya masih 12 tahun. Dia dianggap sebagai “Rajanya orang Jawa dan Tionghoa”.

 Pengangkatan Sunan Kuning dijadikan simbol perlawanan rakyat Kartasura yang dikianati oleh Pakubuwana II karena bersekutu dengan VOC. Sebelumnya Pakubuwana II mendukung para pemberontak. Lalu pasukan Tionghoa kalah dan bagian timur kerajaan Pakubuwana II jatuh ke tangan Cakraningrat VI karena persekutuannya dengan VOC.

Balatentara milik Sunan Kuning behasil memasuki Kartasura pada Juni tahun 1742 setelah berjuang di Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang bertugas mengawal garis belakang, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan.

Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura ke arah timur dengan evakuasi oleh Van Hohendorff. Ia menyebrangi Bengawan Solo lalu ke Magetan. Peristiwa tersebut oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo(penanda waktu) yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jaga”(Raja yang kehilangan keratonnya).

Takhta Kartasuna diambil alih oleh Sunan Kuning pada 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo sebagai panglima perang.

Setelah itu dia berencana menggempur pasukan VOC di Semarang. Dengan modal 1200 prajurit Tionghoa-Jawa pimpinan Raden Mas Said(Mangkunegara I) serta Singseh atau Tan Sin Ko di arahkan ke Welahan.

Di Welahan pasukannya bertempur melawan VOC yang dipimpin oleh kapten Gerrit Mom. Berkat serangan VOC dari segala penjuru, pasukan Tionghoa-Jawa dipukul mundur. Orang penting seperti Tan We Kie terbunuh di Pulau Mandalika. Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi di sana.

November 1742 keadaan diperparah dengan dengan serangan ke Kartasura dari tiga penjuru. Dari Bengawan Solo ada Cakraningrat IV, dari Ngawi ada pasukan Pakubuwana II serta VOC menyerang dari Ungaran dan Salatiga.

Akhirnya Sunan Kuning melarikan diri dari Kartasura dan pergi ke arah selatan bersama pasukannya. Kartasura akhirnya jatuh dan perlawanannya pun masih berlanjut di berbagai daerah di wilayah Jawa.

Akhirnya pada September 1743 menjadi akhir dari Sunan Kuning. Dia tedesak di Surabaya selatan dan menyerahkan diri ke loji VOC Surabaya, yang saat itu dipimpin Reiner De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan dia bersama pengikutnya dibawa ke Semarang lalu dipindahkan ke Batavia, sampai berakhir pada pengasingan di Sri Langka.

 
Pranala Sumber : 



Comments