![]() |
sumber : https://id.wikipedia.org |
Amangkurat I atau Sri Susuhunan Amangkurat Agung adalah
raja dari Kesultanan Mataram. Dia memulai pemerintahannya dari tahun 1646
hingga 1677. Selama dia memerintah sering terjadi pemberontakan.
Dia memiliki gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan
Tegalarum setelah meninggal di Tegalwangi pada tahun 1677. Selain itu dia juga
disebut Sunan Getek karena terluka ketika menumpas pemberontakan Mas Alit,
adiknya sendiri.
Amangkurat I merupakan putra dari Sultan Agung
Hanyokrokusumo dengan Ratu Wetan yaitu Kangjeng Ratu Batang. Dia lahir dengan
nama Raden Mas Sayidin dan memiliki dua permaisuri utama yaitu Putri Pangeran
Pekik dari Surabaya sebagai Ratu Kulon dan putri dari keluarga Kajoran menjadi
Ratu Wetan.
Pemerintahan
Raden Mas Sayidin naik takhta pada tahun 1645
menggantikan ayahnya dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Secara resmi di tahun
1646 dia bergelar Amangkurat atau Mangkurat dengan nama lengkap Kangjeng
Susuhunan Prabu Amangkurat Agung.
Dia mewarisi wilayah Mataram yang luas dari bekas kekuasaan
Sultan Agung. Pada masanya terjadi sentralisasi atau pemerintahan terpusat.
Selain itu dia juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan
pandangan politiknyak seperti Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya.
Pada masanya, ibu kota Mataram berpindah ke Plered dengan
istana baru dari batu bata menggantikan istana lama di Kerta yang terbuat dari
kayu.Selama perpinhan terjadi pemberontahan oleh adiknya Raden Mas Alit atau
Pangeran Danupoyo.
Pemberontakan Mas Alit didukung oleh para ulama dan
berakhir dengan kematian Mas Alit. Setelah itu Amangkurat I mengumpulkan para
ulama beserta keluarganya di alun-alun lalu dibantai.
Dia juga berhubungan dengan VOC dan melakukan perjanjian
di tahun 1646. Pihak VOC diperbolehkan membangun pos-pos di wilayah Mataram dan
Mataram diijinkan berdagang di pulau-pulau kekuasaan VOC.
Tawanan dari kedua pihak dikembalikan. Amangkurat I
dianggap telah menaklukkan VOC karena perjanjian tersebut. Lalu VOC merebut
Palembang pada tahun 1659. Permusuhan Mataram dan Banten semakin buruk. Cirebon
gagal menaklukkan Banten pada tahun 1650 dan Amangkurat I melarang ekspor kayu
dan beras ke negeri itu pada tahun 1652.
Selain itu hubungan diplomatik Mataram dengan Makasar
yang dibangun oleh ayahnya hancur pada tahun 1658. Amangkurat I menolak
duta-duta dari Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa,
permintaan itu ditolak olehnya.
Perselisihan Putra Mahkota
Amangkurat I berselisih dengan putra mahkotanya, Raden
Mas Rahmat karena pemindahan jabatan Adipati Anom atau putra mahkota ke
Pangeran Singasari, putra lainnya. Mas Rahmat lalu mengkudeta ayahnya pada
tahun 1661 dan gagal.
Amangkurat I menumpas semua pendukung dari putranya,
tetapi gagal untuk meracun putranya sendiri di tahun 1663. Perselisihan mereka
memuncak di tahun 1668 ketika Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya bernama
Rara Oyi. Pangeran Pekik dihukum mati karena tuduhan menculik Rara Oyi dan Mas
Rahmat diampuni dengan hukuman membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pemberontakan Trunajaya
Ketika telah kehilangan gelar putra mahkotanya, Mas
Rahmat bertemu dengan menantu Panembahan Rama atau Raden Kajoran yaitu
Trunajaya, Pangeran Madura pada tahun 1670. Panembahan rama membiayai Trunajaya
untuk memberontak kepada Amangkurat I.
Trunajaya mendapatkan bantuan dari pejuang Makasar di
bawah pimpinan Karaeng Galesong. Para pejuang Makasar tersebut merupakan
sisa-sisa pendukung dari Sultan Hasanuddin yang dikalahkan oleh VOC pada tahun
1668. Pada tahun 1674 para pejuang tersebut meminta sebuah perkampungan kepada
Amangkurat I, tetapi ditolak.
Para pemberontak pun menimbun kekuatan yang besar.
Trunajaya berselisih dengan Mas Rahmat dan akhirnya Trunajaya tidak jadi
menyerahkan kekuasaan kepadanya seperti rencana sebelumnya. Akhirnya Mas Rahmat
pun kembali bergabung dengan ayahnya.
Pada 28 Juni 1677 menjadi puncak pemberontakan Trunajaya.
Kemenangan Trunajaya membuat Amangkurat I bersama Mas Rahmat melarikan diri ke
barat meninggalkan Istana Plered. Babad mencatat bahwa pelarian ini menandai
akhir dari Kesultanan Mataram.
Trunajaya mengambil rampasan perang dari istana dan
meninggalkan keraton Mataram. Dia kembali ke pusat pemerintahannya di Kediri.
Pangeran Puger memanfaatkan kesempatan tersebut dan menguasai keraton yang
telah lemah. Dia mengangkat diri sebagai raja di Plered bergelar Susuhunan ing
Alaga.
Kematian
Dalam pelariannya Amangkurat I jatuh sakit. Babad
mencatat bahwa kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas
Rahmat. Amangkurat I tetap menjadikan Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya
disertai kutukan bahwa keturunannya tidak akan ada yang menjadi raja kecuali
satu dan periodenya sangat sebentar.
Pada tanggal 19 Juli 1677 Amangkurat I meninggal. Dia
meninggal di desa Wanayasa, Banyumas. Sebelumnya dia berwasiat untuk dimakamkan
di dekat gurunya di Tegal. Tempat pemakamannya dinamai Tegalwangi atau
Tegalarum karena tanah di sekitar desa dia dimakamkan berbau wangi.
Amangkurat I juga berwasiat pada Mas Rahmat untuk meminta
bantuan kepada VOC dalam usaha merebut takhtanya kembali dari Trunajaya. Oufers
bersama dua belas serdadu hadir dalam pemakaman tersebut. Kemudian Mas Rahmat
dengan gelar Amangkurat II mendirikan Kasunanan Kartasura melanjutkan
Kesultanan Mataram.
Pranala Sumber :
Comments
Post a Comment